Jumat, 12 Juni 2009

SYARIAT ISLAM DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM


Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan sumber daya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).

Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola negara untuk diberikan hasilnya kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadis riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadis tersebut, Abyad diceritakan telah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat,

“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya”.

Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Sikap pertama Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, Rasul mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Adapun semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.

Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul saw. mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, ia menarik kembali pemberian itu. An-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:

“Adapun pemberian Nabi saw. kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh. Sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh, lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang berarti barang tambang tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali karena sunah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut. Untuk itu, beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.

Penarikan kembali pemberian Rasul saw. dari Abyadh adalah illat dari larangan sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadis dari Amru bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul milhi” (tambang garam). Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Haris Al-Muzni dari kabilahnya, serta hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal dari Abi Ikrimah yang mengatakan, “Rasulullah saw.memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, baik berupa gunung maupun tambang” sebenarnya tidak bertentangan dengan hadis Abyadh ini. Hadis di atas mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal kandungannya terbatas sehingga boleh diberikan. Hal ini sebagaimana Rasulullah pertama kali memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh. Akan tetapi, kebolehan pemberian barang tambang ini jangan diartikan secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul setelah diketahui bahwa tambang itu kandungannya besar bagaikan air yang terus mengalir. Jadi, jelaslah bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.

Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah, seperti garam, batu bara, dan sebagainya; maupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh, kecuali dengan usaha keras, seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah, dan sejenisnya, termasuk milik umum. Baik berbentuk padat, seperti kristal maupun berbentuk cair, seperti minyak, semuanya adalah barang tambang yang termasuk ke dalam pengertian hadis di atas.

Benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk dimiliki oleh pribadi saja, maka benda tersebut termasuk milik umum. Namun, meski termasuk ke dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama dari segi sifatnya. Oleh karena itu, benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda dengan kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Air misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, tapi bila suatu komunitas membutuhkannya, individu tidak boleh memilikinya. Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.

Oleh karena itu, sebenarnya, pembagian ini –meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum— esensi faktanya menunjukkan bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property), seperti jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya.

Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya al-Mughni mengatakan:

“Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslim, sebab hal itu akan merugikan mereka”.

Maksud pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Barang siapa menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.

Pemasukan Negara

Dengan memahami ketentuan syariat Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya, bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara. Selain itu, negara diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri dalam pembiayaan pembangunan negara.

Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat melalui Baitul Mal. Baitul Mal adalah kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara. Mekanisme pemasukan ataupun pengeluarannya semua ditentukan oleh syariat Islam. Sektor-sektor pemasukan dan pengeluaran Kas Baitul Mal adalah sebagai berikut.

1. Sektor kepemilikan individu

Pemasukan dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infaq, dan shadaqah. Untuk zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara dalam pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh al-Quran (QS at-Taubah [9]: 60), yaitu: (1) Faqir, (2) Miskin, (3) Amil zakat, (4) Muallaf, (5) Memerdekakan budak, (6) Gharimin (terlilit utang), (7) Jihad fi sabilillah, dan (8) Ibnu sabil (yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Sementara itu, infaq dan shadaqah pendistribusiannya diserahkan kepada ijtihad khalifah yang semuanya ditujukan untuk kemashlahatan umat.

2. Sektor kepemilikan umum

Tercakup dalam sektor ini adalah segala milik umum, yaitu yang berupa hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan, dan sebagainya. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan:

Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.

Membagikan hasilnya secara langsung kepada masyarakat yang memang sebagai pemilik sumber daya alam itu. Mereka berhak untuk mendapatkan hasilnya. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis, atau dalam bentuk uang hasil penjualan.

Sebagian kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.

3. Sektor kepemilikan negara

Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10% dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah untuk kepentingan negara dan kemashlahatan umat.

Khatimah

Jelas sekali, pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya alam negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah. Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumber daya itu. Sudah saatnya, misalnya, hanya BUMN yang berhubungan dengan hutan saja yang mengelola hutan-hutan yang ada di negeri ini. Demikian pula dengan sumber daya lain. Eksplorasi emas oleh PT Freeport merupakan kesalahan besar. Sejak tahun 1973, sudah lebih dari Rp500 triliun hasil emas melayang ke luar negeri. Memang pemerintah mendapatkan pajak dan sebagainya. Akan tetapi, pasti angkanya jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri. Andai itu sepenuhnya dikelola oleh negara, dana yang tidak sedikit itu tentu bisa diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Begitu pula dengan barang tambang lain.

Pemanfaatan seoptimal mungkin sumber daya alam itu hanya mungkin bila BUMN yang menangani semua kekayaan milik umum itu dikelola secara profesional dan amanah. Sudah menjadi rahasia umum betapa di dalam BUMN-BUMN itu selama ini terjadi inefisiensi luar biasa akibat praktik-praktik kolusi dan korupsi. Akibatnya, bukan hanya dana yang tidak sampai ke tangan rakyat, tetapi juga BUMN itu mengalami kerugian. Bagaimana mungkin PLN, misalnya, yang menjadi perusahaan tunggal dalam pengelolaan listrik bisa merugi? Padahal, tidak ada satu pun rakyat yang tidak menggunakan listrik. Di samping itu, tidak ada perusahaan lain yang menjadi saingan PLN. Itu semua terjadi karena mismanajemen dan korupsi. Dengan efisiensi, dana yang diperoleh bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, selain BUMN itu juga bisa berjalan dengan baik. Rakyatnya makmur sejahtera, negara tidak perlu berutang ke sana kemari. Insya Allah.[]

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

0 komentar: